Kamis, 01 April 2010

IPS Kelas V " Mempertahankan Kemerdekaan"

BAB I
PENDAHULUAN

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 hanya bersifat de facto (berdasarkan fakta), tetapi secara de yure (berdasarkan hukum internasional) belum didapatkan. Karena Belanda belum mengakui kedaulatan negara Indonesia. Tanggal 15 September 1945 tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta. Awalnya kedatangan Sekutu bermaksud untuk melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan, dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya.
Tetapi ternyata kedatangan Sekutu ini diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration – pemerintah sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr Hubertus J van Mook. Tujuannya adalah untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina yang menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang anggotanya adalah kerajaan Belanda dan Hindia Belanda (Indonesia) di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Hal ini tentu saja membuat bangsa Indonesia marah dan berusaha mempertahankan kemerdekaan sampai tetes darah penghabisan dengan semboyan perjuangan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”. Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi akibat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia seperti Peristiwa 10 November, Palagan Ambarawa, dan Bandung Lautan Api. Terjadi pula tindak kekerasan oleh Belanda melalui agresi militer Belanda sebanyak 2 kali.
Akan tetapi usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secra diplomasi lewat perjanjian Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem Royen dan Konferensi Meja Bundar (KMB).


BAB II
ERA TAHUN 1945

INSIDEN BELANDA DI HOTEL YAMATO SURABAYA (19 September 1945)
Pada hari Rabu tanggal 19 September 1945 saat Sekutu dan Belanda yang tergabung dalam Mastiff Carbolic beroperasi di Surabaya dan mengunjungi Markas Besar Tentara Jepang yang berkedudukan di Surabaya. Mastiff Carbolic merupakan salah satu organisasi Anglo Dutch Country Saction (ADCS) yang bergerak di bidang spionase dengan kedok Petugas/Organisasi Palang Merah Internasional. Pada saat yang sama beberapa orang Belanda yang tergabung dalam Komite Kontak Sosial mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) pada tiang bendera sebelah kanan (utara) gapura hotel Yamato (Orange/Majapahit sekarang). Hal ini dinilai oleh para pejuang dan arek-arek Suroboyo sebagai tindakan sangat sombong dan tidak simpatik dari orang-orang Belanda. Pengibaran bendera Belanda itu dianggap sebagai lambang akan ditegakkannya kembali kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Surabaya.
Resimen Sudirman mengunjungi hotel Yamato dan memerintahkan dengan tegas kepada komite perwakilan Sekutu untuk segera menurunkan bendera Belanda tersebut. Tetapi perintah ini tidak diindahkan bahkan resimen Sudirman ditodong dengan pistol revolver oleh seorang pemuda Belanda. Hal ini memicu perkelahian massal yang tidak seimbang antara 20 orang Sekutu dan Belanda berhadapan dengan arek-arek Suroboyo yang berasal dari Genteng, Embong Malang, Praban dan sekitarnya.
Akhirnya beberapa orang pemuda berhasil mendekati dan memanjat dinding dan puncak gapura hotel kemudian berhasil menurunkan bendera Belanda. Mereka menyobek bagian birunya serta menaikkan kembali bendera merah-putih diiringi pekikan “Merdeka, Merdeka, Merdeka” yang disambut gembira oleh rakyat yang berkerumun di bawah tiang bendera dan berada di depan hotel Yamato.
Dalam peristiwa ini gugur arek Suroboyo yaitu Mulyadi, Hariono, Mulyono sedangkan pihak Belanda yang gugur adalah Mr Ploegman yang terbunuh oleh amukan massa dan ditusuk dengan senjata tajam.



PERTEMPURAN LIMA HARI DI SEMARANG (14 – 20 Oktober 1945)
Pada tanggal 14 Oktober 1945 pemuda-pemuda Semarang bergerak merebut gedung-gedung yang diduduki oleh tentara Jepang khususnya di daerah Candi Baru. Keesokan harinya komandan tentara Jepang Mayor Jenderal Nakamura dengan pasukannya yang berkekuatan + 1.500 orang dari Jatingaleh bergerak menyerang kota Semarang dari tiga jurusan. Mereka menangkap para pemuda yang bergabung dalam BKR, Polisi Istimewa, Angkatan Muda dan lain-lain, hingga pecah pertempuran hebat di dalam kota, antara lain di Kantor Besar Jawatan Kereta Api, Gedung Kempetei, Bojong, Bulu, dan Pendirikan. Pihak Jepang berhasil menguasai kota. Beberapa kampung dibakar. Gubernur Jawa Tengah ditawan dan dipaksa untuk menyatakan penghentian pertempuran. Penghentian pertempuran dipercepat dengan datangnya pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jendral Bethel pada tanggal 19 Oktober 1945, yang langsung dilucuti Jepang. Salah satu pertempuran terjadi di sekitar hotel Du Pavilion (sekarang hotel Dibya Puri) yang dipertahankan mati-matian oleh para pemuda dan BKR.


PERTEMPURAN 10 NOVEMBER DI SURABAYA (1945)
Pertempuran ini merupakan pertempuran yang sangat besar yang terjadi di Surabaya. Diawali dengan kedatangan sekutu tanggal 25 Oktober 1945 ke Surabaya di bawah pimpinan Jendral A W S Mallaby. Awalnya kedatangan Sekutu ini diterima baik oleh rakyat Indonesia, tetapi kemudian tentara Sekutu mulai menguasai gedung-gedung penting yang ada di sekitar pelabuhan, membebaskan tawanan yang dipenjara oleh pihak Indonesia, dan melakukan patroli keliling kota.
Hal ini menyulut kemarahan rakyat Surabaya. Maka terjadilah kontak senjata pada tanggal 25 Oktober 1945. Penyebab kontak senjata ini adalah karena pihak Sekutu terus menerus melakukan patroli keliling kota tanpa mengindahkan tuntutan pihak Indonesia. Selain itu pihak Sekutu memaksa rakyat Indonesia menyerahkan senjatanya. A W S Mallaby dengan sombong menyatakan bahwa sejak tanggal 27 Oktober 1945 kota Surabaya menjadi tanggung jawab Sekutu.
Kontak senjata paling sengit terjadi pada tanggal 30 Oktober 1945 dimana tentara Gurkha (tentara bayaran Sekutu) menembaki rakyat. Terjadilah pertempuran antara tentara Gurkha dengan arek-arek Suroboyo. Dalam pertempuran ini A W S Mallaby tewas.
Setelah tewasnya A W Z Mallaby, penggantinya Mayor Jendral Mansergh mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjata di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah pukul 06.00 padi tanggal 10 November 1945. Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia, sebab Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga sudah dibentuk. Selain itu banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai bentuk tekad bersama untuk membela negara, untuk melucuti pasukan Jepang dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda.
Pada tanggal 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dashyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi buta dengan meriam laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Sekutu menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak. Namun di luar dugaan, ternyata perlawanan itu masih bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari dan dari minggu ke minggu. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampat sebulan, sebelum seluruh kota jatuh ke tangan Sekutu. Peristiwa berdarah di Surabaya ini juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyak pejuang yang gugur dan rakyat menjai korban ketika tiulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Pejuang yang terkenal dalam peristiwa ini adalah Bung Tomo.




PERTEMPURAN MEDAN AREA (10 Desember 1945)
Pada tanggal 9 Oktober Sekutu yang diboncengi serdadu Belanda dipimpin oleh Brigadir Jendral T E D Kelly mendarat di kota Medan. Namun pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Westerling sudah berada di Medan. Untuk menghadapi keadaan yang demikian, para pemuda segera membentuk divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Medan
Pada tanggal 13 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara tentara Indonesia melawan pasukan Belanda yang merupakan awal pertempuran Medan Area. Pertempuran in terus berkobar di seluruh kota Medan. Oleh kerena itu pada tanggal 18 Oktober 1945 tentara Sekutu mengeluarkan maklumat (pengumuman) untuk melarang rakyat membawa senjata dan semua senjata harus diserahkan kepada Sekutu.
Tentara Sekutu juga menetapkan secara sepihak batas-batas kekuasaan, sehingga menyebabkan kemarahan rakyat Medan. Ahmad Tahir seorang bekas perwira tentara sukarela (Giyugun) membentuk barisan Pemuda Indonesia untuk merebut tempat-tempat strategis dan mengambil alih pemerintahan.
Puncak pertempuran Medan Area terjadi pada tanggal 10 Desember 1945. Pasukan Sekutu mengerahkan semua kekuatan militer untuk menggempur kota Medan. Para pemuda berjuang melawan pihak Sekutu. Pertempuran ini menelan banyak korban di kedua belah pihak.

PERTEMPURAN AMBARAWA (Desember 1945)
Pada tanggal 20 Oktober 1945 tentara Sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jendral Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi NICA. Mulanya kedatangan Sekutu disambut baik, bahkan gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati untuk menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu. Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan, tentara Belanda justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang melucuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan membuat kekacauan.
TKR resimen Magelang pimpian M Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun Sekutu berhasil diselamatkan dari kehancuran berkat campur tangan presiden Sukarno yang menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara dian-diam meninggalkan kota Magelang menuju benteng Ambarawa. Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap Sekutu. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Ono Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh, dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang di Ngipik. Tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa disekitar Ambarawa. Tetapi pasukan Indonesia dibawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut. Pada pertempuran ini Letnan Kolonel Isdiman gugur.
Gugurnya Letkol Isdiman, membuat Komandan divisi V Banyumas Sudirman merasa kehilangan perwira terbaiknya sehingga ia langsung turun ke lapangan dan memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan semangat baru kepada pasukan RI. Pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan mendadak secara serentak di semua sektor.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah terjadi tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di jalan Margo Agung. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang untuk menyusup dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono. Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Sudirman mengadakan rapat dengan komandan sektor TKR dan Laskar.
Pada tanggal 12 Desember 1945 pukul 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Sudirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Untuk memperingati pertempuran itu, maka di kota Ambarawa didirikan Monumen Palagan Ambarawa.

BAB II
ERA TAHUN 1946

BANDUNG LAUTAN API (23 Maret 1946)
Pada tanggal 12 Oktober 1945 tentara Sekutu tiba di kota Bandung. Saat itu para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang berusaha merebut senjata dari tentara Jepang. Tetapi Sekutu menuntut agar semua senjata hasil rampasan dari Jepang diserahkan kepada Sekutu,.
Pada tanggal 21 November 1945 sekutu mengeluarkan ultimatum yang berisi “kota Bandung badian utara harus dikosongkan paling lambat tanggal 29 November 1945”. Ultimatum ini tidak dihiraukan oleh rakyat Bandung. Oleh karena itu Sekutu mengeluarkan ultimatum kedua pada tanggal 22 Maret 1946 yang berisi “seluruh kota Bandung harus dikosongkan. Terjadi perbedaan pendapat antara pihak Indonesia di Jakarta yang memerintahkan agar kota Bandung dikosongkan dengan markas tentara Indonesia di Yogyakarta yang memerintahkan agar kota Bandung tidak dikosongkan.
Atas dasar pertimbangan politik dan dan keselamatan rakyat maka pihak Indonesia menuruti ultimatum Sekutu dengan mengungsikan rakyat Bandung ke luar kota. Keputusan ini diambil melalui musayawah Majelis Persatuan Perjuang Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan. Kolonel Abdul Haris Nasution selaku komandan Divisi III mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan kota Bandung.
Tetapi sebelum mengosongkan kota Bandung, pada tanggal 23 Maret 1946 pihak Indonesia membakar kota Bandung bagian selatan. Tujuannya adalah agar gedung-gedung penting tidak dikuasai pihak Sekutu Disamping itu karena kekuatan Indonesia tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Bandung Lautan Api. Pahlawan yang gugur dalam pertempuran ini adalah Muhammad Toha.

PERISITIWA BOJONG KOKOSAN DI SUKABUMI (1946)
Dalam sejarah perjuangan Indonesia, Bojong Kokosan terkenal atas peristiwa penyergapan konvoi pasukan Sekutu oleh para pejuang kemerdekaan yang menewaskan puluhan tentara Inggris pada tanggal 9 Desember 1945.
Pada tanggal 9 Desember 1945, serangkaian konvoi militer Inggris yang dikawal oleh beberapa tank jenis Stuart bergerak menuju Bandung. Di desa Bojong Kokosan, Kecamatan Parung Kuda (Cibadak) konvoi itu dihadang oleh pasukan TKR dan terjadi pertempuran. Dalam pertempuran itu berhasil melumpuhkan 3 buah tank, beberapa truk serta beberapa puluh anggota pasukan Inggris meninggal. Angkatan Udara Inggris (Royal Air Force) kemudian mengebom beberapa desa di sekitar daerah pertempuran antara lain Kompa dan Cibadak, sehingga rata dengan tanah. Peristiwa itu menjadi bahan perdebatan di dalam Parlemen Inggris.

PERJANJIAN LINGGARJATI (10 November 1946)
Perjanjian Linggarjati adalah suatu perjanjian yang dilakukan antara pihak Indonesia dengan pihak pemerintah Belanda. Perjanjian Linggarjati yang berlangsung selama empat hari di desa Linggarjati Cirebon Jawa Barat.
Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Sutan Sjahril sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh H J Van Mook
Hasil perundingan tertuang dalam 17 pasal. Empat isi pokok dalam perundingan Linggarjati adalah :
1.Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yaitu Jawa,
Sumatra dan Madura.
2.Belanda harus meninggalkan wilayah Republik Indonesia paling lambat
tanggal 1 Januari 1947.
3.Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk Negara Republik
Indonesia Serikat atau RIS.
4.Dalam bentuk RIS, Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Uni Indonesia Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala Uni.
Dengan adanya kesepakatan dalam perjanjian Linggarjati ini, Indonesia mengalami kekalahan selangkah. Selanjutnya setelah terbentuk RIS pihak Belanda bertindak sewenang-wenang yang merugikan RI. Kemudian terjadilah agresi militer Belanda I.

PUPUTAN MARGARANA DI DENPASAR – BALI (18 November 1946)
Pertempuran Margarana (Bali) terjadi karena isi perjanjian Linggarjati yang menyatakan bahwa daerah kekuasaan Republik Indonesia yang diakui hanya pulau Jawa, Madura, dan Sumatra sedangkan pulau Bali tidak termasuk daerah kekuasaan Republik Indonesia.
Belanda kemudian berusaha memberntuk negara boneka (negara di bawah kendali Belanda) di daerah Indonesia bagian timur. Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai agar mau bekerja sama. Namun I Gusti Ngurah Rai menolaknya. I Gusti Ngurah Rai justru menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda.
Pada tanggal 18 November 1946 terjadilah pertempuran antara pasukan I Gusti Ngurah Rai dengan pasukan Belanda. Pasukan I Gusti Ngurah Rai dapat menguasai Tabanan. Belanda kemudian mengerahkan kekuatan yang ada di Bali dan Lombok. Dalam pertempuran puputan (habis-habisan) pasukan I Gusti Ngurah Rai dapat dikalahkan. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur dalam pertempuran itu.

BAB III
ERA TAHUN 1947

AGRESI MILITER BELANDA I
Agresi militer Belanda I terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dari perjanjian Linggarjati antara Indonesia dengan Belanda. Pihak Indonesia mengakui kedaulatan Belanda pada masa peralihan tetapi menolak pelaksanaan keamanan dan ketertiban yang dilakukan bersama pihak Belanda. Sedangkan pihak Belanda menyatakan bahwa Indonesia akan dijadikan sebagai negara anggota persemakmuran dan berbentuk federasi. Belanda menuntut agar ketertiban dan keamanan dilakukan bersama pihak Belanda.
Pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan nota ultimatum yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi :
1.Membentuk pemerintahan ad interim bersama.
2.Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama.
3.Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah daerah
yang diduduki Belanda.
4.Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah
Republik Indonesia yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).
5.Menyelenggarkan pemilikan bersama atas impor dan ekpor.
Perdana menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapat reaksi keras dari kalangan partai-partai politik di Indonesia.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus mengembalikan ketertiban dengan tindakan keras. Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan aksi kekerasan mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sangat diperhitungkan oleh Belanda dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang, Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di Jawa. Di Sumatra perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instansi-instansi minyak dan batubara di sekitar Palembang dan daerah Padang diamankan.
Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa Sutan Sjahrir mengundurkan diri dari jabantannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah Indonesia dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini bagi pasukan Indonesia hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik Indonesia yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai aksi tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik Indonesia.
Sikap Indonesia tegas. Nota ultimatum Belanda ditolak Belanda. Pada tanggal 15 Juli 1947 Belanda memberi nota ultimatum kedua. Ultimatum kedua harus dijawab dalam waktu 32 hari. Isi nota tersebut antara lain Belanda tetap menuntut pelaksanaan keamanan dan ketertiban secara bersama dan meminta agar Indonesia menghentikan permusuhan terhadap Belanda. Sikap Indonesia tetap tegas menolak ultimatum Belanda.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer 1. Belanda menyerang pulau Jawa dengan pasukan dan persenjataan yang lengkap. Untuk menghadap agresi Belanda pihak Indonesia menerapkan taktik perang gerilya. Belanda berhasil menguasai tempat di kota-kota, sedangkan Indonesia menguasi daerah di luar kota.
Agresi militer Belanda mendapat reaksi keras dari dunia internasional. India dan Australia di PBB mengusulkan agar masalah Indonesia dari Belanda diselesaikan di Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menyerukan supaya kedua negara yang bertikai menghentikan tembak-menembak.
Dalam persidangan Dewan Keamanan PBB pihak Indonesia mengutus Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salilm. Pada tanggal 4 Agustus 1947 Indonesia dan Belanda menghentikan baku tembak. Pada tanggal itu juga agresi militer Belanda terhadap Indonesia berakhir.

BAB III
ERA TAHUN 1948

PERJANJIAN RENVILLE (17 Januari 1948)
Perjanjian ini dilakukan oleh tiga pihak yaitu Indonesia, Belanda dan KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai penengah. KTN dibentuk oleh PBB yang bertugas menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda. Anggota dari KTN adalah Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin sedangkan Belanda diwakili oleh R Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Perundingan ini dilakukan di atas kapal Renville milik tentara Inggris.
Isi perjanjian Renville adalah :
1.Belanda mengakui daerah Republik Indonesia atas Jawa Tengah, Yogyakarta,
Sumatra, dan sebagian kecil Jawa Barat.
2.Tentara Republik Indonesia ditarik dari daerah-daerah yang telah diduduki Belanda.
Hasil perjanjian ini juga semakin mempersempit wilayah Indonesia sehingga
sangat merugikan.

AGRESI MILITER BELANDA II
Agresi militer Belanda II terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dari isi perjanjian Renvillle antara Indonesia. Perbedaan penafsiran terjadi mengenai garis Van Mook yaitu garis batas antara wilayah Indonesia dan wilayah pendudukan Belanda dan mengenai pemerintah sementara Republik Indonesia Serikat.
Agresi militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu. Belanda mengerahkan pasukan lintas udara untuk menyerang kota Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo berhasil dikuasai Belanda. Belanda juga melakukan penangkapan terhadap Sukarno, Muhammad Hata, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Presiden Sukarno dan wakil presiden Muhammad Hatta diterbangkan ke Bangka (Sumatra).
Pemerintah Indonesia menghadapi agresi militer Belanda dengan tenang. Pihak Indonesia mengatur strategi dengan dua cara. Cara pertama adalah :
1.Membentuk permerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI) dibawah
pimpinan Sjafruddin Prawiranegara.
2.Jika PDRI tidak berhasil dibentuk, maka Mr A A Maramis, L N Palar,
Dr Sudarsono akan membentuk Pemerintah Republik Indonesia di India.
3.Presiden dan wakil presiden tetap berada di kota
4.Jika Belanda menyerang, maka pemerintah akan menyingkir ke luar kota dan
memimpin gerilya.
Cara kedua adalah langkah secara militer yaitu :
1.Mengumumkan berdirinya pemerintahan militer untuk Jawa yang diumumkan oleh Kolonel A H Nasution tanggal 22 Desember 1948
2.Mempersiapkan konsep baru di bidang militer yaitu :
a.TNI dapat menguasai kota Yogyakarta yang sebelumnya sengaja dikosongkan,
untuk selanjutnya bergerilya.
b.Pasukan Siliwangi yang telah hijrah ke Jawa Tengah kembali ke Jawa Barat
c.Brigade X pimipnan Letnal Kolonel Slamet Riyadi dapat menguasai kota
Surakarta pada bulan Agustus 1949.

BAB IV
ERA TAHUN 1949

PERISTIWA WESTERLING DI SULAWESI SELATAN (1949)
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Westerling adalah seorang tentara Belanda yang mendirikan organisasi rahasia. Organisasi ini memiliki pengikut sebanyak 500.000 orang yang terdiri dari mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST.
Organisasi tersebut bernama Ratu Adil Persatuan Indonesia yang memiliki satuan bersenjata yang bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

SERANGAN UMUM DI YOGYAKARTA (1 Maret 1949)
Serangan umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
Pendudukan kota Yogyakarta sebagai ibulota Repubilk Indonesia oleh Belanda dan tertawannya pimpinan negara dan pemerintahan disimpulkan Belanda bahwa RI dan TNI telah lumpuh. Untuk mementahkan diplomasi- diplomasi Belanda dan mempengaruhi jalannya sidang Dewan Keamanan PBB tersebut, maka Sri Sultan Hamengkubuwono X berpendapat bahwa tiba saatnya untuk membuktikan kepada dunia internasional Republik Indonesia masih berdiri dan TNI masih masih kuat. Oleh karena itu gerakan harus dikaitkan antara politik dan militer. Demikian pula pendapat dari Letnan Kolonel Suharto. Sebelum sidang Dewan Keamanan PBB bulan Maret 1949 merupakan kesempatan yang sangat baik untuk secepatnya melaksanakan serangan. Untuk itu dilaksanakan serangan besar-besaran ke Yogyakarta agar dapat mendukung perjuangan Republik Indonesia di PBB.
Serangan yang dilaksanakan pada 1 Maret 1949 tersebut diharapkan akan diliput oleh para wartawan luar negeri dan petugas PBB yang berada di Yogyakarta. Serangan terhadap kota Yogyakarta yang diduduki Belanda itu disebut Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan 1 Maret 1949 mempunyai tujuan di bidang militer, politik dan psikologis.
Pukul 06.00 tanggal 1 Maret 1949 tepat pada saat sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan umum dimulai. Pertempuran terjadi di seluruh penjuru kota. Pos-pos Belanda di Tugu Gondolayu, Komando Keamanan Kora, Benteng Vredenburg, Ngupasan Timuran diserbu secara serentak. Kota Yogyakarta berhasil diduduki selama 6 jam. Serangan umum 1 Maret 1949 mempunyai pengaruh yang besar. Di dalam negeri berhasil meningkatkan moril TNI sedang di luar negeri berhasil membantah Belanda yang mengatakan bahwa Republik Indonesia dan TNI sudah hancur.

PERJANJIAN ROEM ROYEN (7 Mei 1949)
Perjanjian Roem Royen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Royen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dari Indonesia dan J. H. van Roijen dari Belanda. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.
Hasil dari perundingan ini juga sangat merugikan Indonesia ,sebab kekuasaan pemerintah Indonesia dikontrol oleh pemerintah Belanda. Setelah melalui perundingan yang berlarut-larut akhirnya pada tanggal 17 Mei 1949 tercapai persetujuan yang dikenal dengan Persetujuan Roem-Royen (Roem-Royen Statements). Hasil pertemuan ini adalah:
1.Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya.
2.Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar.
3.Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta.
4.Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
1.Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai
perjanjian Renville pada 1948.
2.Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela
dan persamaan hak.
3.Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada
Indonesia.
Pada tanggal 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke ibukota Yogyakarta. Tanggal 13 Juli, perjanjian Roem-van Roijen disahkan. Pada tanggal 3 Agustus terjadi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus).
Persetujuan Royem-Royen ditindak lanjuti dengan dilaksanakan
Konferensi Meja Bundar (KMB).

KONFERENSI MEJA BUNDAR (23 Agustus 1949)
Sebelum dilakukan konferensi meja bundar terlebih dahulu dilaksanakan Konferensi antar Indonesia sebanyak 2 kali. Pertama pada tangga 19 – 22 Juli di Yogyakarta dan kedua tanggal 30 Juli di Jakarta. Tujuannya agar semua pihak menyepakati pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag Belanda dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Konferensi ini sebagai tindak lanjut dari perjanjian Roem Royen.
Perundingan dilakukan oleh tiga pihak yaitu Indonesia diwakili oleh Muhammad Hatta, BFO (Bujeenkomst voor Federal Overleg) diwakili oleh Sultan Hamid II, dan Belanda diwakili oleh Mr Van Masarseven, serta UNCI diwakili oleh Chritchley.
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah :
1.Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat kecuali Papua Barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua Barat negra terpisah karena perbedaan etnis. KMB ditutup tanpa keputusan mengenai hal itu. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua Barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
2.Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia dengan monarch Belanda sebagai kepala negara.
3.Pengambilalihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia


PENGAKUAN KEDAULATAN
Akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agusutus 1945. Pengakuan ini ketika soevereiniteit soverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (aksi polisionil) pada 1945 – 1949 adalah ilegal.
Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Meja Bundar maka dilaksanakan penandatangan pengakuan kedaulatan RIS. Penandatangan pengakuan kedaulatan dilakukan di dua tempat pada waktu yang bersamaan.
1.Upacara pengakuan kedaulatan berlangsung di Den Haag (Belanda) pada tanggal 27 Desember 1949. Upacara dilakukan di Istana Kerajaan Belanda. Pihak Belanda yang menandatangani pengakuan kedaulatan adalah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr Willem Drees dan Menteri Seberang Lautan Mr A M J A Sassen. Pihak Indonesia dipimpin oleh Muhammad Hatta.
2.Upacara pengakuan kedaulatan yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1949. Pihak Belanda diwakili oleh Wakil Tinggi Mahkota Belanja A H J Lovink dan pihak Indonesia diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Dengan demikian Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia secara sah.

DAFTAR PUSTAKA

Drs Sudjatmoko Adisukarjo dkk. Horizon Ilmu Pengetahuan Sosial. Yudisthira. 2006

Rany S Sos, Debi S Sos. Ilmu Pengetahuan Sosial. Tiara.

Sugeng HR. Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap. Aneka Ilmu. 2004

Wikipedia Indonesia Ensiklopedia berbahasa Indonesia

www.sejarahtni.mil.id

www.petra.ac.id

Organisasi.co kumunitas dan perpustakaan online Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar